BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada tahun-tahun terakhir, insidensi kusta sedunia, yaitu jumlah kasus baru setiap tahun, telah menurun secara spektakuler. Penurunan telah mulai di tahun 1980-an saat WHO menyelenggarakan terapi kombinasi (Multidrug Therapy, MDT) dari tiga obat, yang dalam 2 tahun dapat menyembuhkan kusta secara tuntas. Sejak itu, jumlah pasien keseluruhan memang menurun drastis, tetapi sebaliknya jumlah penderita baru meningkat. Pada tahun 1996, jumlah penderita ditaksir lebih dari 1,4 juta. WHO pada tahun 1991 telah mengeluarkan resolusi untuk menghapus lepra dari dunia pada tahun 2000.(1)
Masalah yang memprihatinkan adalah walaupun prevalensi (jumlah pasien yang sedang diobati) menurun drastis, namun insidensinya tidak menurun, melainkan terlihat meningkat. Sayang sekali target WHO tersebut tidak terwujud, karena ternyata terlalu optimis dan ambisius.(1)
Kebanyakan penderita kusta terdapat di Asia Tenggara, Amerika Selatan, Afrika. Jumlah pasien terbesar terdapat di India (950.000), disusul Brasil (173.500) dan Bangladesh (136.000). di Indonesia resminya terdapat 30.000-35.000 penderita kusta, tetapi angka sebenarnya diperkirakan jauh lebih tinggi.sebagian dari penderita diobati di sejumlah rumah sakit (leproseri) yang diawasi oleh Lembaga Kusta DepKes. (1)
Berdasarkan data dari DepKes diketahui bahwa pada tahun 2007 terdapat 90 kasus kusta tipe PB, 2008 terdapat 4 kasus kusta tipe PB dan 34 kasus kusta MB, dan tahun 2009 tercatat 11 kasus kusta PB dan 30 kasus kusta tipe MB. (6)
Oleh karena itu, peniliti tertarik untuk mengetahui tingkat keberhasilan pengobatan penyakit kusta di Takalar, khususnya di Puskesmas Galesong Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut diatas dirumuskan pertanyaan sebagai berikut : “ bagaimana tingkat keberhasilan pengobatan penderita kusta di Puskesmas Galesong Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar?”
1.3. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana program pemberantasan penyakit kusta di Puskesmas Galesong Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar dilaksanakan.
2. Tujuan khusus
a) Mengetahui jumlah penderita kusta yang berobat di Puskesmas Galesong.
b) Mengetahui jumlah penderita kusta yang telah berhenti masa berobat.
c) Mengetahui jumlah penderita kusta belum berhenti masa berobat.
1.4.Manfaat penelitian
1. Bagi instansi Puskesmas Galesong Kabupaten Takalar
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu masukan bagi instansi kesehatan dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan di masa depan.
2. Bagi pendidikan
Hasil penilitian ini diharapkan menjadi bahan bacaan bagi peniliti selanjutnya.
3. Bagi peneliti
Merupakan pengalaman berharga bagi peniliti dalam rangka menambah wawasan pengetahuan serta pengembangan diri khususnya dalam bidang penilitian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik dan penyebabnya adalah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.(2)
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae, yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernapasan bagian atas, system retiko-endotelial, mata, otot, tulang dan testis. (3)
2.2. Epidemiologi
Penderita kusta tersebar di seluruh dunia. Jumlah yang tercatat 888.340 orang pada tahun 1997. Sebenarnya kapan penyakit kusta ini mulai bertumbuh tidak dapat diketahui dengan pasti, tetapi ada yang berpendapat penyakit ini berasal dari Asia Tengah kemudian menyebar ke Mesir, Eropa, Afrika dan Amerika. Di Indonesia tercatat 33.739 orang penderita kusta. Indonesia merupakan negara ketiga terbanyak penderitanya setelah India dan Brasil dengan prevalensi 1,7 per 10.000 penduduk. (3)
Penyakit kusta dapat menyerang semua orang. Laki-laki lebih banyak terkena dibandingkan wanita dengan perbandingan 2:1, walaupun ada beberapa daerah yang menunjukkan insidens ini hampir sama bahkan ada daerah yang menunjukkan penderita wanita lebih banyak lebih banyak. Penyakit ini dapat mengenai semua umur. Namun demikian, jarang dijumpai pada umur yang sangat muda. Pernah dijumpai penderita tuberculoid pada usia dua setengah bulan. Serangan untuk pertama kalinya pada usia di atas 70 tahun sangat jarang. Frekuensi terbanyak adalah umur 15-29 tahun, walaupun pernah didapatkan di Pulau Nauru pada keadaan epidemic, penyebaran hampir sama pada semua umur. Di Brasilia terdapat peninggian prevalensi pada usia muda, sedangkan pada penduduk imigran prevalensi meningkat di usia lanjut. (3)
Terdapat perbedaan baik perbedaan ras maupun perbedaan geografik. Ras Cina, Eropa, dan Myanmar lebih rentan terhadap bentuk lepromatous dibandingkan dengan ras Afrika, India, dan Melanesia. Beberapa factor lain yang dapat berperan dalam kejadian dan penyebaran kusta antara lain yang berperan dalam kejadian dan penyebaran dan penyebaran kusta antara lain adalah iklim (cuaca panas dan lembab) diet, status gizin, status social ekonomi, dan genetic. Walau demikian, penelitian Sommerfelt et al (1895) di India tidak mndapatkan hubungan yang berkorelasi antara prevalensi dengan dengan malnutrisi, kemiskinan, dan kebodohan. Penelitian tersebut hanya mendapatkan adanya hubungan antara prevalensi kusta dengan malnutrisi pada anak usia 4 tahun. (3)
2.3. Etiologi
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A. HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat dibiakkan dalam media artificial . Mycobacterium leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam dan alcohol serta Gram-positif. (2)
Secara morfologik, M. leprae berbentuk pleomorf lurus, batang panjang, sisi pararel dengan kedua ujung bulat, ukuran 0,3-0,5×1-8 mikron. Basil ini berbentuk batang gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora, dapat tersebar atau dalam berbagai ukuran bntuk kelompok, termasuk massa ireguler bsar yang disebut sebagai globi. M. leprae ini merupakan basil Gram-positif karena sitoplasma basil ini mempunyai struktur yang sama dengan basil Gram-positif yang lain, yaitu mengandung DNA dan RNA dan berkembang biak secara perlahan dengan cara binary fision yang memutuhkan waktu 11-13 hari. Sifat multifikasi ini lebih lambat daripada Mycobacterium tuberculosis yang hanya membutuhkan waktu 20 jam . pertumbuhan yang sangat lambat ini tidak diragukan sebagai faktor utama yang menyebabkan masa inkubasi kusta sangat lama (5-7 tahun) dan menyebabkan semua manifestasi klinisnya menjadi kronik.3
2.4. Patogenesis(3)
Pada tahun 1960 Shepard berhasil menginokulasikan M.leprae pada kaki mencit, dan berkembang biak di sekitar tempat suntikan. Dari berbagai macam specimen, bentuk lesi maupun Negara asal penderita,tenyata tidak ada perbedaan spesies. Agar dapat tumbuh diperlukan jumlah minimum M.leprae yang disuntikkan dan kalau melampaui jumlah maksimum tidak berarti meningkatkan perkembangbiakan.
Inokulasi pada mencit yang telah diambil timusnya dengan iradiasi (900 r), sehingga kehilangan respons imun selularnya ,akan menghasilkan granuloma penuh basil terutama di bagian tubuh yang relative dingin, yaitu hidung, cuping telinga, kaki dan ekor. Basil tersebut selanjutnya dapat diinokulasikan lagi, berarti memenuhi salah satu postulat Koch, meskipun belum seluruhnya dapat dipenuhi.
2.5. Gambaran klinis
Manifestasi klinis penyakit kusta biasanya menunjukkan gambaran yang jelas pada stadium lanjut, dan diagnosis cukup ditegakkan dengan pemeriksaan fisik saja. Suatu penderita kusta adalah seseorang yang menunjukkan gejala klinis kusta dengan atau tanpa pemeriksaan bakteriologis dan memerlukan suatu pengobatan(4)
Gejala dan keluhan penyakit tergantung pada : (4)
Multiplikasi dan diseminata kuman M. leprae
- Respon imun penderita terhadap kuman M. leprae
- Komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer.
Ada 3 tanda cardinal yang salah satunya ada sudah cukup untuk menetapkan diagnosis dari penyakit kusta yakni: (4)
» Lesi kulit yang anastesi
Makula atau plakat lebih jarang pada papul atau nodul dengan hilangnya rasa raba, rasa sakit dan suhu yang jelas. Kelainan lain pada kulit yang spesifik berupa perubahan warna dan tekstur kulit serta kelainan pertumbuhan rambut.
» Penebalan saraf perifer
Penebalan saraf perifer sangat jarang ditemukan kecuali pada penyakit kusta. Pada daerah endemik kusta penemuan adanya penebalan saraf perifer dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis. .
» Adanya M. leprae
Hanya penyakit yang dapat diinvasi secara masif di daerah dermis yang mukosa hidung oleh basil m. leprae yang dapat ditunjukkan dengan apusan sayatan kulit atau kerokan mukosa hidung. Kelainan kulit dapat berupa macula hipopigmentasi, eritema, infiltrate atau nodul. Jumlah lesi bisa satu, beberapa atau hampir mengenai seluruh tubuh, dapat simetris atau asimetris. Bisa ditemukan gangguan pembentukan keringat dan kerontokan rambut akibat gangguan saraf otonom. Gangguan saraf dapat terjadi mulai dari hipestesi sampai anastesi, gangguan rasa terhadap temperatur dan akhirnya hilang rasa sakit. Saraf perifer yang paling sering terlihat adalah nervus ulnaris, nervus medianus, nervus radialis, nervus radialis kutaneus, nervus peroneus komunis, nervus tibialis posterior, nervus tibialis anterior, nervus auricularis magnus dan nervus supraorbital. Adanya kerusakan saraf dipengaruhi oleh: (4)
1. M. leprae menyenangi tempat yang bersuhu tubuh rendah
2. Saraf supervisialis mudah terkena trauma
3. Adanya reaksi imunitas tubuh
4. Saraf terletak dekat artikulasi
5. Meningkatnya tekanan intraneural menimbulkan iskemia pada saraf, timbul edema dan infiltrasi sel ke dalam saraf, sehingga saraf tertekan.
6. Saraf superfisialis terletak dalam kanalis saling bersilangan sehingga saraf yang rusak karena trauma akan merusak saraf sekitarnya.
Adapun klasifikasi yang dapat dipakai pada bidang penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran kinis, bakteriologis, histopatologis dan imunologis dan sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan. (4)
a. Tipe Tuberkuloid
Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa macula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi bahkan dapat menyeruapai gambaran psoriasis. Dapat disertai dengan penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot dan sedikit rasa gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid dan kurang atau tidak adanya basil merupakan tanda adanya respon imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta. Granuloma epiteloid ini terdapat pada sebagian besar atau seluruh dermis yang dikelilingi oleh infiltrasi limfosit yang meluas.
b. Tipe Borderline Tuberculoid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT yakni berupa macula atau plakat yang sering disertai lesi satelit di pinggirnya, jumlah lesi satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentsi, kekeringan kulit atau skuama yang tidak jelas seperti pada tipe TT. Adanya gangguan saraf tidak seberat pada tipe TT, biasanya asimetris.
c. Tipe Borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua spectrum penyakit kusta. Disebut juga macula infiltrate. Permukaan lesi dapat mengkilat, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Lesi sangat bervariasi baik dengan ukuran, bentuk ataupun distribusinya. Bila didapatkan adanya lesi punched-out yaitu hipopigmentasi yang oval pada bagian tengah, bartas jelas yang merupakan ciri khas tipe ini.
d. Tipe Borderline lepromatous (BL)
Secara klasik lesi dimulai dengan macula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit dan dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Macula disini lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya. Walau masih kecil, papel dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi hampir simetris dan beberapa nodus nampaknya melekuk pada bagian tengah sering nampak normal dengan pinggir dalam infiltrat lebih jelas dibanding pinggir luarnya dan beberapa plak tampak seperti punched-out.
e. Tipe Lepromatous (LL)
Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritema, mengkilat, berbatas tidak tegas dan tidak diteukan gangguan anastesi dan anhidrosis pada stadium dini. Distribusi lesi khas yaki di wajah, dahi, pelipis, dagu, cuping telinga sedang di badan mengenai bagian belakang yang dingin, legan, punggung tangan dan permukaan ekstensor tungkai bawah.
Adapun menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasiler dan pausibasiler. Yang termasuk dalam multibasiler adalah tipe LL, BL dan BB pada klasifkasi Ridley-Jopling, sedangkan pausibasiler adalah tipe I, TT, dan BT. (2)
Tabel 1. BAGAN DIAGNOSIS KLINIS MENURUT WHO (1995) (2)
PB | MB | |
1. Lesi kulit (macula datar, papul yang meninggi, nodus | – 1-5 lesi
– Hipopigmentasi/eitema – Distribusi tidak simetris – Hilangnya sensasi yang jelas.
|
– >5 lesi
– Distribusi simetris – Hilangnya sensasi kurang jelas |
2. Kerusakan saraf (menyebabkan hilangnya sensasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang terkena) | – Hanya satu cabang saraf | – Banyak cabang saraf |
2.6.Diagnosis
. Diagnosis penyakit kusta biasanya dapat dibuat dengan pemeriksaan klinik dibantu dengan pemeriksaan bakteriologik, histopatologi, imunologi dan lain-lain. Tanda-tanda kardinal penyakit kusta adalah:
1. Bercak kulit yang mati rasa;
2. Penebalan saraf tepi di daerah yang terkena;
3. Ditemukannya basil tahan asam (BTA +).
Diagnosis penyakit kusta dapat ditegakkan jika dijumpai salah satu dari ketiga tanda cardinal yang pertama. Lebih-lebih jika ditambah dengan yang keempat. (4) Pemeriksaan laboratorium penyakit kusta meliputi:
1. Pemeriksaan bakteriologik;
2. Pemeriksaan histopatologik;
3. Pemeriksaan imunologik.
a) Pemeriksaan bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam, antara lain dengan ZIEHL-NEELSEN. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung basil M. leprae.
Pertama-tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil., setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan diambil. Mengenai jumlah lesi juga ditentukan oleh tujuannya, yaitu untuk riset atau rutin. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan rutin sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif, berarti yang paling eritematosa dan paling infiltrative pemilihan kedua cuping telinga tersebut tanpa menghiraukan ada tidaknya lesi di tempat tersebut, oleh karena atas dasar pengalaman tempat tersebut diharapkan, mengandung basil paling banyak. perlu diingat bahwa setiap tempat mengambil harus dicatat. Guna pengambilan ditempat yang sama pada pengamatan pengobatan untuk dibandingkan hasilnya. (4)
b) Pemeriksaan histopatologik
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang mempunyai nama khusus, antara lain sel Kupffer dari hati, sel alveolar dari paru, sel glia dari otak, dan yang dari kulit disebut histiosit. Salah satu tugas makrofag adalah melakukan fagositosit. Kalau ada kuman (M.leprae) masuk, akibatnya akan bergantung pada System Imunitas Selular (SIS) orang out. Apabila SIS-nya tinggi, makrofag akan ma mpu memfagosit M. leprae. Datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia Langhans. Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow ata sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan. (4)
Granuloma adalah akumulasi makrofag adan atau derivate-derivatnya. Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan nonsolid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu suatu daerah langsung dibawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel Virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline, terdapat campuran unsur-unsur tesebut. (4)
c) Pemeriksaan imunologik
Pemeriksaan serologic kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi apa tubuh seseorang yang terifeksi oleh M.leprae. Antibodi yang terbentuk dapat besifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibody antipehenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibody antiprotein 16kD serta 35 kD. Sedangkan antibody yang tidak spesifik antara lain antibody anti-lipoarbinomanan(LAM), yang jugadihasilkan oleh juga dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis. (4)
Kegunaan pemeriksaan serologic ini adalah dapat membantu diagnosis kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Di samping itu dapat membantu menentukan kusta subklinis pada narakontak serumah. (4)
Macam-macam pemeriksaan serologic kusta adalah : (4)
- Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)
- Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay)
- ML dipstick (Mycobacterium Leprae dipstick)
TABEL. 2. KARAKTERISTIK BERBAGAI TIPE KUSTA MENURUT KLASIFIKASI RIDLEY-JOPLING(2)
Tipe | |||||||
TT | BT | BB | BL | LL | |||
TT | Ti | BT | BB | BL | Li | LL | |
Reaksi lepromin | 3+ | 2+ | 1+ | – | – | – | – |
Stabilitas imunologik | ++ | + | ± | – | ± | + | ++ |
Reaksi borderline | – | ± | + | ++ | + | ± | – |
E.N.L | – | -s | – | – | – | – | – |
Basil dalam hidung | – | – | – | + | ++ | ++ | |
Basil dalam granuloma | 0-1+ | 1+3+ | 3-4+ | 4-5+ | 5-6+ | 5-6+ | |
Sel epiteloid | + | + | + | + | – | – | – |
Sel datia Langhans | +++ | ++ | + | + | – | – | – |
Globi | – | – | – | – | – | + | + |
Sel busa (sel Virchow) | – | – | – | – | + | ++ | +++ |
Limfosit | +++ | +++ | ++ | + | + | +/± | ± |
Infiltrasi zona sub epidermal | + | + | +/- | – | – | – | — |
Kerusakan saraf | ++ | +++ | ++ | + | ± | + | – |
2.7. Pengobatan
Tujuan utama program pemberantasan penyakit kusta adalah memutuskan rantai penularan untuk menurunkan insidensi penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita serta mencegah timbulnya cacat. Untuk mencapai tujuan itu sampai masih didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita yang tampaknya masih tetap diperlukan walaupun nanti vaksin yang efektif telah tersedia. Sejak dilaporkan adanya resistensi terhadap dapson baik primer maupun sekunder, pada tahun 1977 WHO memperkenalkan pengobatan kombinasi yang terdiri paling tidak dua obat anti-kusta yang efektif. Pada tahun 1981, WHO Study Group on Chemotherapy of Leprosy secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan regimen MDT (multi drug therapy). Sejak Januari 1982, pengobatan kusta di Indonesia mengikuti keputusan WHO Expert Committee Meeting di Geneva (Oktober 1981), yaitu dengan pengobatan kombinasi DDS, Lampren dan Rifampisin. (3)
a. Obat-obat antikusta(3)
1. Sulfon
1.1. Dapson (4,4’- diamino difenil sulfon, DDS)
Hal-hal yang penting mengenai dapson adalah sebagai berikut :
- Merupakan dasar terapi untuk kusta
- Bersifat bakteriostatik, tetapi cara kerjanya tidak diketahui. Dosis 100 mg bersifat bakterisidal lemah. Merupakan suatu inhibitor kompetitif PABA dan berhubungan dengan metabolism asam folat tetapi sensitivitas M. leprae yang unik terhadap dapson menimbulkan perkiraan adanya mekanisme lain yang terlibat.
- Aman, mudah didapat dan harganya murah
- Efek samping dapson sebagai berikut :
» Pada penderita defisiensi G6PD : menimbulkan anemia hemolitik
» Dapat timbul anemia normositik hipokromik dan lekopenia. Obat harus dihentikan bila hitung total sel darah merah kurang dari 3,5 juta/mm3. Jarang timbul anemia setelah terapi 4 bulan.
» Dapat terjadi sianosis (methemoglobinemia)
» Gangguan gastrointestinal yang rendah dan hepatitis yang ditandai oleh anoreksia dan vomitus. Dalam hal ini obat dapat dihentikan sementara.
» Psikotik merupakan komplikasi yang serius, tetapi jarang ditandai oleh insomnia, mudah terangsang dan iritabel. Dalam hal ini obat perlu dihentikan.
» Keterlibatan ginjal ditandai dengan albuminuria.
» Erupsi kulit bervariasi dari rash morbiliformis sampai pemfigoid berat, fixed drug eruption, dermatitis eksfoliativa, eritema multiforme, toksik epidermal nekrolisis (TEN).
» Kadang-kadang sulfon mengeksaserbasi keterlibatan saraf pada penderita tuberkuloid (paradox terapi)
- DADDS (diasetil-diamino-difenil-sulfon)
Merupakan depot sulfon, penggunaan intramuscular 225 mg dapat aktif sampai lebih dari 2 bulan. Dapat digunakan di lapangan. Titer plasma dengan suntikan lebih rendah daripada dapson oral dan terapi yang lama dapat menimbulkan resistensi. Karenanya, obat ini tidak boleh digunakana sebagai obat tunggal. Sebagai tambahan untuk terapi oral, diberikan satu injeksi tiap 8-10 minggu. Profilaksis DADDS ini efektif bila disupervisi dengan baik. ( ilmu penyakit kulit, editor.prof.dr.marwali harahap. Prof.dr. Muh. Dali Amiruddin)
- Rifampisin
Beberapa yang penting mengenai rifampisin:
» Suatu derivate emisintetik produk fermentasi Streptomyces mediterranei.
» Kerjanya melalui melalui inhibisi sintesis RNA bakteri.
» Merupakan antikiusta yang paling poten, menurunkan MI (indeks Morfologi) pada kusta lepromatosa menjadi 0 dalam ±5 minggu, bersifat bakterisidal.
» Dosis tunggal rifampsin 600 mg akan membunuh 99,9% M. leprae dalam bebrapa hari sehingga penderita menjadi tidak infeksius lagi.
» Rifampisin harus diminum sebelum makan, umumnya obat dapat ditoleransi dengan baik.
» Berbagai kasus resisten telah dilaporkan, karenanya obat ini tidak boleh diberikan secara tunggal.
» Tidak direkomendasikan pada kehamilan trimester I.
» Hamatan pada Negara-negara berkembang adalah karena harganya mahal.
» Efek samping :
1. Disklororisasi urin, urin menjadi merah
2. Erupsi kulit umumnya berupa papula-papula eritematous, eritema multifome dan kadang-kadang sindroma Steven-Johnson.
3. Pusing, lemah, gangguan gastrointestinal.
4. Flushing dan/ atau pruritus.
5. Kadang-kadang hepatitis, trombositopenia,
6. Flu-like syndrome
7. Gagal dginjal, napas pendek, syok, purpura.
- Klofazimin (Lamprene)
» Bahan aktif adalah turunan zat warna iminofenazin.
» Kerjanya melalui interaksi dengan DNA micobacteria.
» Baersifat bakteriostatik dan bakterisidal lemah.
» Sifat antikustanya mirip denagn dapson tetapi sedikit lebih lambat
» Efektif untuk terapi ENL ( Eritema Nodusum Leprosum) dan reaksi reversal, yang tidak dapat diatasi dengan talidomid secara efektif.
» Harus diminum pada waktu maka atau dengan segelas susu.
» Terutam penting untuk penderita dengan resistensi terhadap dapson, penderita ENL menetap yang tidak dapat minum talidomid (wanita hamil dengan ENL)
» Efek samping:
- Terjadi diskolorisasi yang reversible dari ungu sampai coklat kehitaman pada kulit. Efek berrhubungan dengan dosis. Pigmen pada lesi kusta berwarna keabu-abuan, dapat sampai hamper hitam.
- Nyeri abdominal, mual, diare, dapat dikurangi dengan minum obat saat makan.
- Kematian pernah dilaporkan karena deposit kristal pada limfatik dengan submukosa gastrointestinal, dimana dosis total clofzimin tinggi.
- Iktiosis, kekeringan kulit, fisula terutama pada tulang kering, dapat dikontrol dengan minyak.
- Dapat menyebabkn eksaserbasi pada permulaan terapi.
- Lampren melewati plasenta sehingga pada bayi yang lahir dari ibu yang mendapatkan lampren, kulitnya menjadi lebih berpigmentsai. Tidak ditemukan adanya teratogenisitas.
- Sedapat mungkin lampren tidak diberikan pada:
– trimester I kehamilan.
– Penderita dengan nyeri abdomen berulang dan diare.
– Penderita dengan kerusakan hati/ginjal.
- Protionamide dan Etionamide
» Keduanya mempunyai efek bakterisidal. Efek keduanya hamper sama dan dapat dipertukarkan. Resistensi silang sering terjadi.
» Digunakan bila klofazimin tidak diberikan.
» Dosis: etionamide : 250-500 mg/hari
Protionamide : 250-375 mg/hari
» Efek samping : hepatitis pada 40% penderita, tetapi protionamid lebih kurang toksik di antara kedua obat tersebut. Intoleransi terhadap obat ini tinggi pada orang-orang Asia, terutama orang-orang Cina. Oleh karena dapat menyebabkan hepatooksik, terutama bila dikombinasi dengan rifampicin. WHO Expert Committee on Leprosy merekomendasikan bahwa kedua obat tersebut sebaiknya tidak dipakai sebagai komponen MDT di lapangan, kecuali sangat terpaksa.
a. Prinsip MDT (Multi Drug Therapy = pengobatan kombinasi ) (3)
Manajemen penyakit kusta yang cepat memerlukan pengetahuan tentang tujuan terapi, sifat-sifat obat yang diguanakn dan perjalanan alamiah penyakit. Yang penting, diperlukan kesabaran adan pengertian akan keadaan psikologik penderita. Regimen rekomendasi MDT adalah suatu kompromi antara ide teori dan suksesnya tujuan pada kondisi lapangan di negara miskin.
1. Keuntungan MDT
a) Mencegah resistensi obat.
b) Mengobati penderita dengan resistensi terhadap dapson.
c) Menghapus keperluan mengidentifikasi sensitivitas terhadap M. leprae sebelum terapi.
d) Mengubah konsep dari terapi jangka panang yang hanya mencegah perluasan penyakit ke terapi jangka pendek yang menyembuhkan penyakit.
e) Meningkatkan ketaatan berobat dari 50% ke 95%.
f) Mencegah deformitas secara lebih efisien.
g) Menurukan jumlah kasus-kasus setiap tahunnya.
h) Cepat membuat penderita menjadi tidak infeksius.
i) Mengurangi biayan jangka panjang pada program kontrol kusta.
2. Regimen MDT-standar WHO
a. Regimen MDT- Psaubasiler
Yang diobati dengan regimen ini adalah penderita yang termasuk dalam klasifikasi TT, BT menurut Ridley-Jopling atau I dan T menurut klasifikasi Madris yang bakterioskopik negative sedang apabila bakterioskopik positif, digolongkan ke dalam multibasiler.
Obat/ dosis:
1. Rifampicin :
Dewasa: 600 mg/bulan, disupervisi
Berat badan <35 kg: 450 mg/ bulan
Anak 10-14 tahun : 450 mg/bulan (12-15 mg/kgBB/bulan)
2. DDS :
Dewasa : 100mg/hari
Berat badan <35 kg. 50 mg/hari
Anak 10-14 tahun : 50mg/hari (1-2mg/kgBB/hari)
Lama pengobatan: diberikan sebanyak 6 regimen dengan jangka waktu dengan jangka waktu maksimal 9 bulan.
a. Regimen MDT-Multibasiler
Yang diobati dengan regimen ini adalah penderita yang termasuk dalam klasifikasi BB,BL,LL menunjukkan Ridley-Jopling atau B dan L menurut klasifikasi Madrid dan tipe lain yang bakterioskopik positif.
Obat/dosis:
1. Rifampisin
Dewasa : 600 mg/bulan, disupervisi
Berat badan <35kg : 450 mg/ulan
Anak 10-14 tahun : 450 mg/bulan (12-15 mg/kgBB/bulan)
2. Lampren
Dewasa : 300mg/ bulan, disupervisi dianjutkan dengan 50 mg/hari.
Anak 10-14 tahun : 200mg/bulan, disupervisi dilanjutkan dengan 50 mg selang sehari.
3. DDS
Dewasa : 100mg/hari
Berat badan <35 kg: 50 mg/hari
Anak 10-14 tahun : 50 mg/hari (1-2 mg/hari/kgBB/hari)
Lama pengobatan : diberikan sebanyak 24 regimen dengan jangka waktu maksimal 36 bulan, sedapat mungkin samai apusan kulit menjadi negative. Setelah pengobatan dihentikan (Release from Treatment)// RFT atau Completion of Treatment/ COT), penderita masuk dalam masa pengamatan (control/surveillance), yaitu : penderita dikontrol secra klinik dan bakterioskopik minimal seali setahun selama 5 tahun untuk penderita kusta multibasiler dan dikontrol secara klinik sekali setahun selama 2 tahun untuk penderita kusta psaubasler. Bila selama masa tersebut tidak ada keaktifan, maka penderita dinyatakan bebas dari pengamatan.
1.8. Reaksi Kusta
Terdapat 2 tipe reaksi yang dapat dikenali, yaitu Reaksi Reversal (RR) dan Eritema Nodosum Leprosum (ENL). Simptom RR dapat berupa lesi lama yang lebih udem dan eritematosa, dapat muncul lesi baru, pembesaran saraf tepi disertai nyeri dengan peningkatan gangguan fungsi, dan kadang-kadang disertai pembengkakan akral. Reaksi ENL mempunyai bentuk karakteristik, berupa nodul-nodul eritematosa yang terasa sakit dan timbul mendadak. Pasien umumnya merasa sakit. Sarafpun dapat nyeri. Kadang-kadang terjadi arthritis, limfadenitis, orkitis, iridosiklitis dan glaukoma yang dapat diikuti dengan kebutaan. Keterlibatan berbagai organ tersebut dapat terjadi terpisah atau secara bersamaan. (5)
1.9. Penatalaksanaan Komplikasi Kusta(5)
– Reaksi Reversal
Prednisolon dengan dosis awal 40 mg/hari. Bila ada perbaikan diturunkan berturut-turut menjadi 30 mg, 20 mg, 15 mg, dan 5 mg/hari setiap 2 minggu.bila dalam penurunan dosis tidak ada perbaikan dosis dipertahankan atau dinaikkan.
– Eritema nodusum leprosum
– ENL ringan (tanpa keterlibatan saraf, mata, atau genital) dengan tablet asam
– salisilat 3 x 1000 mg/hari selama 1-2 minggu.
– ENL berat (pasien tampak sakit dengan keterlibatan saraf, mata, atau genital)
– dengan steroid. Dosis dan cara pemberian obat sama dengan reaksi reversal.
– Periksa adanya infeksi terkait.
– Tuberkulosis dapat berkomplikasi dengan ENL
– Thalidomid bila tersedia dapat diberikan 100-400 mg sekali sehari selama 1-
– 2 minggu. Jangan berikan pada ibu hamil atau wanita yang menggunakan
– kontrasepsi tidak aman 100% !!! Thalidomide dapat menyebabkan deformitas
– berat pada janin
1.10. Kecacatan (4)(7)
Sebagian besar masalah kecacatan kusta ini terjadi akibat penyakit kusta yang terutama menyerang saraf perifer. Cacat yang timbul pada penyakit kusta dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
a. Cacat primer adalah cacat yang disebabkan langsung oleh aktivitas penyakit, terutama kerusakan akibat respon jaringan terhadap M.leprae, yang termasuk cacat primer :
1) Cacat pada fungsi saraf sensoris: anastesi, fungsi saraf motorik, misalnya claw hand, wrist drop, foot drop, claw toes, lagoftalmus. Dan cacat pada fungsi otonom menyebabkan kulit kering, elastisitas berkurang dan gangguan refleks vasodilatasi.
2) Infiltrasi kuman pada kulit dan jaringa subkutan yang menyebabkan alopesia atau madarosis, kerusakan glandula sebacea dan sudorifera menyebabkan kulit kering dan tidak elastis.
3) Cacat pada jaringan lain akibat infiltrasi kuman kusta dapat terjadi pada tendon, ligament, sendi, tulnang rawan, tulang testis, dan bola mata.
b. Cacat sekunder adalah cacat yang tidak langsung disebabkan oelh penyakitnya sendiri, tetapi diakibatkan oleh adanya anastesi dan paralese motoris. Kerusakan pada saraf meliputi anastesi akibat kerusakan saraf sensoris, yang pada dasarnya karena hilangnya rasa nyeri dan rasa suhu, maka penderita gagal menghindar terhadap trauma terutama pada tangan dan kaki. Keadaan ini pada akhirnya dapat berakibat timbulnya berbagai bentuk luka, meliputi luka bakar, luka iris, luka memar, distorsi sendi dan sebagainya. Disamping itu adanya anastesi ini menyebabkan seseorag individu tidak mampu membadakan antara dirinya denga badannya, bagian anggota badan yang sudah mengalami anastesi ini dianggap bukan merupakan bagian dari tubuhnya sehingga dipelihara dan bahkan tidak dipergunakan sebagaimana mestinya. Keadaan ini akan lebih buruk lagi bila disertai dengan kerusakan saraf motorik dan otonom yang merupakan factor predisposisi untuk terjadinya infeksi sekunder. Dengan demikian, hal ini akan mempertinggi resiko timbulnya cacat.
BAB III
KERANGKA KONSEP
3.1. Kerangka Konseptual Penilitian
Untuk menilai tingkat keberhasilan pengobatan penyakit kusta di Puskesmas Galesong dapat diukur dengan melihat pemeriksaan penunjang yang digunakan, kepatuhan berobat penderita kusta, penderita kusta yang telah menyelesaikan pengobatan, dan kecacatan yang timbul.
1. Pemeriksaan Penunjang
Dalam menegakkan diagnosis penyakit kusta diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang yaitu, pemeriksaan bakteriologik, histopatologi, dan imunologi.(4)
2. Kepatuhan Berobat
Kepatuhan berobat penderita kusta sangat berpengaruh terhadap perkembangan penyakitnya. Selain itu penularan dapat dicegah dengan menjalani pengobatan secara teratur.
3. RFT
Pada penderita kusta tipe PB yang telah mendapatkan pengobatan 6 dosis MDT dalam 6 bulan atau maksimal 9 bulan dapat langsung dinyatakan RFT, asal tidak timbul lesi baru atau lesi semula melebar. Sedangkan tipe MB setelah mendapatkan MDT 12 dosis dalam waktu 24 bulan atau maksimum 18 bulan dan BTA negative (pemeriksaan tiap bulan) dapat dinyatakan RFT. (4)
4. Kecacatan
Kecacatan pada penderita kusta terdiri dari dua jenis yaitu cacat primer dan cacat sekunder. Cacat primer adalah cacat yang disebabkan langsung oleh aktivitas penyakit, terutama kerusakan akibat respon jaringan terhadap M.leprae. Sedangkan cacat sekunder adalah cacat yang tidak langsung disebabkan oleh penyakitnya sendiri, tetapi diakibatkan oleh adanya anastesi dan paralese motoris.(4)
Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen
Pemeriksaan Penunjang |
TINGKAT KEBERHASILAN PENGOBATAN PENYAKIT KUSTA DI PUSKESMAS GALESONG |
Kepatuhan Berobat |
Kecacatan |
Releasing From Treatment (RFT) |
3.2. Hipotesis
Menurut Sugiono (82:2002) hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penilitian. Berdasarkan kerangka konsep diatas, maka hipotesis dalam penilitian ini adalah :
1) Puskesmas Galesong berhasil dalam pengobatan penyakit kusta.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Desain penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menitikberatkan pada beberapa indikator. Penilitian deskriptif merupakan peniliian pendahuluan dari penilitian lanjutan yaitu studi analitik atau studi eksperimental.
4.2. Lokasi penilitian
Penilitian ini dilaksanakan di Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar.
4.3. Definisi Operasional
1) Pemeriksaan penunjang yang dilakukan petugas kesehatan di puskesmas berpengaruh dalam menegakkan diagnosis penyakit kusta. Biasanya dengan pemeriksaan bakteriologik, histopatologi dan imunologi.(4)
2) Kepatuhan berobat adalah frekuensi kunjungan penderita kusta untuk konsultasi, mengambil dan minum obat secara teratur setiap bulan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan program pemberantasan kusta di Puskesmas.(8)
3) Penderita MB yang telah mendapat pengobatan MDT 12 dosis dalam waktu 24 bulan atau maksimum 18 bulan dan BTA negative (pemeriksaan tiap bulan) dapat dinyatakan RFT (Releasing From Treatment). (4)
4) Cacat akibat penyakit kusta dapat timbul primer dan sekunder. Penderita kusta dengan gejala dini belum menderita cacat dan kalau segera diobati proses penyakitnya terhenti dan penyakitnya sembuh tanpa cacat.
4.4. Populasi dan Sampel Penilitian
1. Populasi
Penderita kusta yang berada di wilayah kerja Puskesmas Galesong Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar.
2. Sampel
Semua penderita kusta yang berobat terhitung dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2010 di Puskesmas Galesong Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar.
4.5. Teknik Pengumpulan Data
1) Data Primer
Dilakukan dengan cara wawancara berstruktur dan observasi langsung kepada penderita kusta yang dijadikan sampel. Adapun bahan yang digunakan dalam penilitian ini adalah kuisioner.
2) Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari status penderita kusta di Puskesmas Galesong Kabupaten Takalar.
4.6. Pengolahan Data
Pengolahan data secara manual dengan menggunakan kalkulator dan dengan bantuan computer disajikan dalam bentuk tabel disertai dengan penjelasan-penjelasan tabel.
4.7. Alur Penilitian
1) Tahap Persiapan
Survey awal dilakukan di Puskesmas pada tanggal 10 November untuk mendata jumlah penderita kusta pernah berobat di Puskesmas Galesong.
2) Tahap Pelaksanaan
Pengambilan data primer ini dilakukan pada tanggal 29 November sampai dengan tanggal 3 Desember 2010. Melakukan wawancara langsung pada penderita kusta yang pernah berobat di Puskesmas Galesong dengan bantuan kuisioner.
3) Tahap Akhir
Pada tahap ini, data yang telah dikumpulkan diolah dan disajikan dalam bentuk tabel.
BAB V
HASIL PENILITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penilitian
Penilitian ini dilaksanakan di Puskesmas Galesong Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar mulai tanggal 1 November sampai dengan 5 November 2010. Banyaknya populasi yang diteliti adalah penderita kusta yang berobat di Puskesmas Galesong. Pengambilan sampel dilakukan dengan mengambil seluruh populasi.
Tabel 3
Distribusi Penderita Kusta di Puskesmas Galesong Berdasarkan Tahun
Tahun 2007 | Tahun 2008 | Tahun 2009 | Tahun 2010 |
2 orang | 3 orang | 4 orang | 6 orang |
Sumber: data sekunder 2007-2010
Distribusi kasus kusta berdasarkan tipe dapat dilihat pada tabel dibawah ini
Tabel 4.
Distribusi Kasus Kusta Berdasarkan Tipe Di Puskesmas Galesong Kab. Takalar
Tipe Kusta | Jumlah |
Pausibasiler | |
Multibasiler | 15 |
Total | 15 |
Data sekunder2007-2010
Data primer diambil melalui teknik wawancara berstruktur dan observasi langsung yang dilakukan pada responden setelah mendapatkan data sekunder dari puskesmas. Dari hasil pengolahan data yang dilakukan, maka hasil penilitian dapat disajikan sebagai berikut.
1. Pemeriksaan yang dilakukan petugas puskesmas
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan oleh petugas Puskesmas Galesong dapat dilihat dpada tabel di bawah ini.
Tabel. 5
Pemeriksaan Penunjang yang Dilakukan oleh Petugas di Puskesmas Galesong
Kec. Galesong Kab. Takalar
Pemeriksaan | Jumlah | Persentase (%) |
Tes Rasa Raba | 15 | 68,18 |
Pem. Bakteriologis | 7 | 31,81 |
Data primer 2010
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa petugas Puskesmas Galesong dalam menegakkan diagnosis melakukan pemeriksaan berupa tes rasa raba yaitu dengan menggunakan ujung kapas untuk menilai anastesi pada lesi kulit. Hanya beberapa dari penderita yang dilakukan pemeriksaan tambahan berupa pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan adanya kuman kusta pada lesi kulit tersebut atau tidak.
2. Kepatuhan Berobat
Kepatuhan berobat pada penderita kusta secara umum dapat diartikan tidak pernah tertinggalnya penderita meminum obatnya selama 6 bulan bagi penderita Pausibasiler dan 12 bulan untuk penderita Multibasiler.
Tabel. 6
Distribusi Penderita Kusta Berdasarkan Kepatuhan Berobat
Di Puskesmas Galesong Kec. Galesong Kab. Takalar
Jumlah | Persentase (%) | |
Patuh | 6 | 40 |
Tidak Patuh | 9 | 60 |
Total | 15 | 100 |
Sumber: Data Primer 2010
Pada tabel diatas dari 15 responden menunjukkan jumlah penderita kusta yang tidak patuh berobat 60% sedangkan yang patuh hanya 40 %
Sikap penderita kusta yang tidak patuh berobat ini akan mengakibatkan aktivitas penyakit ini semakin berkembang bahkan akan mengakibatkan kecacatan dan kelainan yang serius. Serta akan menyebabkan terjadinya resistensi obat jika ketidakteraturan pengobatan ini berlanjut.(9)
Ketidakpatuhan penderita kusta ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor pasien, pelayanan kesehatan, panduan obat, dan panduan masyarakat. (10)
3. Releasing From Treatment
Penderita kusta yang telah mendapat MDT 12 dosis selam 12-18 bulan bagi penderita Multibasiler dan 6 dosis MDT selama 6-9 bulan.
Tabel 7
Distribusi Penderita Kusta Yang Telah RFT
Jumlah | Persentase % | |
RFT | 6 | 40 |
Belum RFT | 9 | 60 |
Total | 15 | 100 |
Pada tabel. 7 distribusi penderita kusta yang telah mendapat pengobatan menunjukkan bahwa kurang dari setengah responden yang telah berhenti minum obat yaitu 6 orang (40%). Beberapa dari yang telah selesai mendapatkan pengobatan adalah yang patuh minum obat. Sedangkan yang belum selesai mendapatkan pengobatan diakibatkan oleh ketidakpatuhan pasien.
4. Reaksi Kusta
Penderita yang mengalami reaksi kusta baik Reaksi Reversal maupun ENL dapat dilihat dari tabel di bawah ini.
Tabel. 8
Distribusi Reaksi Kusta di Puskesmas Galesong
Reaksi | Jumlah | Persentase (%) |
Reaksi Reversal | 1 | 20 |
Reaksi E.N.L | 4 | 80 |
Total | 5 | 100 |
Tabel diatas menunjukkan bahwa dari 15 responden terdapat 5 responden yang mengalami reaksi kusta. Dari 5 yang mengalami reaksi kusta terdapat 4 responden yang mengalami reaksi E.N.L yaitu 80 %. Sedangkan yang mengalami reaksi reversal hanya 1 orang yaitu 20 %.
Penderita kusta yang telah mengalami reaksi tersebut adalah penderita yang pengobatannya terlambat dan tidak teratur. Hal ini diakibatkan oleh kurangnya informasi yang diperoleh penderita mengenai penyakit kusta sehingga terlambat memeriksakan diri ke puskesmas.
5. Kecacatan
Penderita kusta yang telah mengalami cacat akibat kusta dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 9.
Distribusi Penderita Kusta yang Telah Mengalami Cacat
Jumlah | Persentase (%) | |
Cacat | 7 | 46,66 |
Tidak Cacat | 8 | 53,33 |
Total | 15 | 100 |
Data primer 2010
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari 15 sampel, yang telah mengalami cacat akibat penyakit kusta adalah sebanyak 7 orang (46,66%) dan yang tidak cacat sebanyak 8 orang (53,33).
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis mempunyai resiko tinggi untuk mengalami kerusakan saraf. Ditambah lagi jika penderita tidak minum obat secara teratur maka kuman lepra akan aktif kembali sehingga dapat timbul gejala-gejala baru pada kulit dan saraf yang dapat memperburuk keadaan penderita. (2, 11)
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. KESIMPULAN
Dari hasil penilitian yang dilakukan di Puskesmas Galesong Kec Galesong Kab. Takalar dari tanggal 10 November sampai dengan 3 Desember 2010 dapat disimpulkan bahwa dalam mengobati penyakit kusta puskesmas Galesong telah melaksanakan pemeriksaan yang seharusnya untuk menegakkan diagnosis yaitu pemeriksaan tes raba sebanyak 68,18% dan tes bakteriologis sebanyak 31,81 %. Tetapi dalam hal kepatuhan berobat, masih banyak penderita kusta yang tidak teratur berobat yaitu 60% sedangkan yang berobat teratur hanya sebanyak 40%. Adapun penderita yang mengalami reaksi adalah 5 orang. Dari 5 orang tersebut yang mengalami reaksi ENL sebanyak 80% sedangkan reaksi reversal sebanyak 20%. Dapat dilihat bahwa masih banyak penderita kusta yang mengalami reaksi kusta, baik berat maupun ringan. Dan penderita kusta yang telah mengalami kecacatan sebanyak 46,66% dan tidak mengalami cacat adalah 53,33%. Walaupun jumlah yang penderita yang tidak cacat lebih banyak daripada yang cacat, namun melihat pebedaan yang tipis itu menggambarkan bahwa pengobatan penyakit kusta di puskesmas Galesong belum maksimal.
6.2. SARAN
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka penulis dapat memberikan saran sebagai berikut:
1) Agar pihak instansi Puskesmas Galesong Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar lebih cepat melaksanakan diagnosis dini kusta dengan pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Serta memperhatikan kepatuhan berobat penderita kusta dengan meningkatkan pelayanan kesehatan agar reaksi kusta dan kecacatan dapat dicegah.
2) Melihat masih kurangnya tingkat keberhasilan pengobatan penyakit kusta di Puskesmas Galesong Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar, maka dapat dilakukan penilitian lanjutan mengenai factor-faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan pengobatan penyakit kusta di Puskesmas tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Tjay, Tan Hoan. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya. ed. 2. Jakarta. PT.Elex Media Komputindo,2002:154.
2. Kosasih A,dkk. Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin. ed. 5. Jakarta. FKUI,2007: 73-88.
3. Amiruddin, MD. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta. Hipocrates, 2000: 261-271.
4. Amiruddin, MD. Penyakit Kusta. Makassar. Hasanuddin University Press. 2001 :2-67
5. Sjamsoe SE, dkk. Penyakit Kulit Umum di Indonesia Sebuah Panduan Bergambar. Jakarta. PT. Medical Multimedia Indonesia.2005 : 51-59.
6. Provinsi public report. Available from : http://www.bankdata.depkes.go.id. Accessed : 6/12/2010
7. Imam Budi Putra. Pencegahan Kecacatan Pada Tangan Penderita Kusta, USU e-respiratory.2008
8. Emmy Ratnawati. Hubungan Persepsi Mutu Pelayanan Kesehatan Dengan Tingkat Kepatuhan Berobat Pasien Kusta di Puskesmas Kabupaten Blora. Available from : http://eprints.ndip.ac.id. Accessed 6/12/2010.
9. MDT Managing Irregular Treatment FAQ. Available from: www.who.int.lep. Accessed: 5/12/2010.
10. DepKes RI. Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta PPM & PLP. Jakarta. 2001: 5-54